Menantu Pahlawan Negara by Sarjana -
Bab 146
Bab 146 Robin dan Selvi
+15 BONUS
Tamparan si Botak hanya berjarak sekitar beberapa sentimeter dari wajah Robin.
Dia segera menoleh dan memelototi Ardika yang tiba–tiba muncul di depan pintu. ”
Eh, bocah, apa kamu tahu siapa aku? Berani sekali kamu mengancamku?! Pergi
sana! Jangan ikut campur urusanku!”
“Mereka adalah orang tua sahabatku, jadi urusan mereka adalah urusanku. Aku berhak ikut campur.”
Ardika melangkah memasuki rumah itu, dia mendapati situasi di dalam rumah kacau balau, bahkan sepeda kecil milik Livy juga sudah hancur.
Sebelum Ardika datang, si Botak dan anak buahnya sudah merusak barang–barang di rumah sederhana Keluarga Darma ini.
“Kamu adalah sahabat Delvin yang sudah mati itu?”
Si Botak tertegun sejenak, lalu tertawa terbahak–bahak. “Kamu ingin ikut campur masalah ini? Silakan saja. Lagi pula, dua tua bangka sialan ini bersikeras nggak mau bayar utang. Kalau begitu, kamu saja yang menggantikan mereka membayar uang 400 juta itu!”
Mendengar si Botak mengatai Delvin, ekspresi Ardika langsung berubah menjadi
muram.
“Berani sekali kamu mengatai sahabatku! Kamu memang harus diberi pelajaran!”
Selesai berbicara, dia langsung menghampiri si Botak dan melayangkan tamparan ke wajah pria itu sampai–sampai wajahnya membengkak.
“Bocah, kamu benar–benar çari mati!”
Si Botak sama sekali tidak menyangka, walaupun ada beberapa orang anak buahnya di sini, Ardika berani menamparnya.
Emosi si Botak langsung meluap. Tanpa banyak berbicara lagi, dia langsung mengayunkan tinjunya ke arah Ardika.
+15 BONUS
Ardika juga mengayunkan tinjunya pada saat bersamaan.
Saat kedua tinju itu menghantam satu sama lagi, si Botak langsung mengerang kesakitan dan terpental menabrak dinding.
Dia terlihat bersandar pada dinding dengan lengan terkulai lemas.
Lengan si Botak sudah patah!
Dia menatap Ardika dengan tatapan tidak percaya, lawannya dalam keadaan baik-
baik saja!
“Kenapa kalian masih bengong saja? Cepat hajar dia!” teriak si Botak dengan aura membunuh yang kuat sambil memegang lengannya yang sudah patah.
Setelah mendengar teriakan si Botak, beberapa preman lainnya baru tersadar
kembali dan menerjang ke arah Ardika.
Namun, sebelum mereka sempat mendekati Ardika, sopir yang berdiri di belakang
Jesika sudah turun tangan.
Seperti seekor serigala yang masuk dalam kelompok domba, sang sopir
melumpuhkan beberapa preman itu dengan mudah.
Sopir ini juga bukan sopir biasa, dia adalah seorang petarung yang andal.
“Pergi sana!”
Ardika menatap si Botak dengan dingin. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, si Botak langsung lari keluar bersama beberapa orang bawahannya itu.
“Bocah, tunggu saja kamu! Aku akan melaporkan ini pada Bos Jordi. Kamu dan dua
tua bangka sialan itu pasti akan mati!”
Dari luar, terdengar teriakan ganas si Botak.
Ardika sama sekali tidak takut pada ancaman si Botak. Bos Jordi yang dianggap
hebat oleh si Botak bukan apa–apa bagi Ardika.
Namun, dia tahu preman–preman ini pasti tidak akan menyerah begitu saja.
“Jesika coba kamu folapen linte den Romi lalu tanyakan pada mereka mengapa
FIS BOMAN
situasi di area kota tua masih begitu kacau. Apa perlu aku mencari orang lain untuk
menggantikan posisi mereka?”
Kemarin, dia sudah memberi waktu satu hari kepada Jinto dan Romi untuk
mengatur dunia preman Kota Banyuli menjadi tertib dan teratur.
Namun, hari ini dia melihat situasi di area kota tua masih sangat kacau, bahkan si
Botak dan beberapa orang anak buahnya itu berani membuat keributan di rumah
Keluarga Darma di siang bolong.
Dia merasa kurang puas dengan kinerja kedua orang itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Jesika langsung mengeluarkan ponselnya
dan berjalan keluar.
Selesai memberi perintah, Ardika baru mengalihkan pandangannya ke arah Robin
dan istrinya yang sudah tampak ketakutan. “Paman, Bibi, aku adalah Ardika, sahabat
Delvin. Aku datang mengunjungi kalian.”
Karena tadi dia baru saja mematahkan lengan si Botak, dua lansia ini agak takut
padanya.
Setelah mendengar Ardika memperkenalkan dirinya adalah sahabat Delvin dan
bersikap sangat sopan, mereka baru menghela napas lega.
“Oh, kamu adalah teman sekelas Delvin yang bernama Ardika itu? Dulu, kami sering
mendengarnya bercerita tentangmu.”
Robin dan Selvi sudah merasa lega.
Saat putra mereka masih hidup, Delvin sering bercerita tentang Ardika, jadi mereka
sudah sangat mengenal Ardika,
“Ya, saat itu Delvin sering memberi tahu kami, dia berutang budi pada sahabatnya
yang bernama Ardika, Kami tahu seharusnya sebagian dari Grup Bintang Darma
adalah milikmu, tapi sekarang Delvin sudah meninggal dan Grup Bintang Darma juga sudah jatuh ke tangan orang lain.”
Saat berbicara tentang putranya, Selvi terus menyeka air matanya.
Sekarang akhirnya sahabat putranya sudah kembali, tetapi putranya sudah
meninggal.
Robin juga diselimuti kesedihan.
COIN BUNDLE: get more free bonus
If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report